Beberapa hari yang lalu, kebetulan saya bermain ke kampus UNS, kampus hijau yang bener-bener hijau. Sekian lama ga berkunjung ke kampus UNS khususnya di FSSR rasa kangen pun sangat terasa, mengenang masa-masa kuliah s1 yang masih lugu, polos, dan bodoh. hihi Sekitar 2-3 jam saya menghabiskan waktu di sana sembari mengantar adikku putri yang sekarang jadi mahasiswa S2 di kampus ISI Solo. Senang dan lega rasanya bisa bermain dan bertemu beberapa dosen dan karyawan, semuanya membuat kenanganku terhadap fakultas sastra semakin lekat.
Perpustakaan adalah salah satu tempat favoritku saat kuliah dulu, bukannya membaca atau mencari buku referensi tetapi hanya untuk menghabiskan waktu untuk membaca beberapa koran langganan perpustakaan seperti kompas, sindo, solopos, dan jawapos. Perbaikan sistem dan kenyamaan perpus pun semakin baik, antusiasme mahasiswa sekarang untuk belajar atau datangpun keliatannya meningkat beda pada jaman ku saat itu, mungkin karena ada fasilitas internet gratis yang bisa diakses membuat perpustakaan sedikit tambah rame.
Melanjutkan mengenang jalur sutra, saya kemudian makan di kantin mbok jum. Tidak ada sesuatu yang berbeda dengan kantin itu, semua tampak masih sama mulai dari menu makanan, harga makanan, dan tempatnya namum yang sedikit berbeda adalah orang yang makan. Dulu saat era tahun 2004an kantin itu dikuasai anak-anak seni rupa yang gaya pakaian dan gaya rambutnya kotor dan jorok. Kesan kantin yang sangar sangat terasa waktu itu, beberapa senior saya memang sangar-sangar dengan segala atribut anak seni rupanya, namun belakangan di era 2006an semuanya berubah seiring dengan citra anak gaul yang trend dikalangan anak dkv yaitu dengan pakain distro dan casualnya. Memang terlihat lebih keren dan rapi namum menurut sudut pandang saya, ada sesuatu yang hilang dari karakter anak seni rupa, mereka mulai menggeser style pakaian dan konsep mereka mengenai anak seni. Tapi ga masalah yang penting mereka masih punya jiwa seni dan kebebasan meski pola kehidupan mereka sudah beda dengan kakak-kayak tingkatnya.
Dari kantin kemudian saya lanjut ke Perpustakaan Pusat UNS. Perpustakaan ini terletak tidak jauh dari fakultasku. Di perpus ini menawarkan buku-buku atau litelatur yang sedikit lebih komplit dari perpus fakultas. Selama proses pengerjaan skripsi sering sekali saya berkunjung ke sana dengan temen-temen seperti suharna, joko, dan andika siwi. Di perpus ini sebenarnya kami hanya nongkrong dan minum-minum sekali lagi fungsi perpus bergesar menjadi tempat nongkrong. hihi
Setelah mendengar UNS termasuk dalam 10 besar Universitas Terbaik di Indonesia dan katanya mempunyai komitmen menuju World Class University seharusnya Universitas ini peduli dengan kondisi perpustakaannya. Tidak jauh berbeda dengan apa yang saya alami dulu, perpus ini tetap tidak menawarkan buku yang komplit bagi mahasiswanya, perubahan yang signifikan hanya terdapat pada peletakan meja-meja baca dan penambahan tempat-tempat diskusi itu semua tidak terlepas dari adanya jaringan wifi yang membuat banyak mahasiswa berselanjar didunia maya hanya untuk facebookan. Kesan kotor dan tidak terurus masih saja ada di perpustakaan UNS ini, yang makin hari malah semakin memprihatinkan. Kondisi toilet yang kotor, air yang tidak ada membuat toilet-toilet di perpustakaan UNS seperti tempat buat Uji Nyali. Dari sini saya mau bertanya, mau menuju ke arah world class university versi apa? wong kondisi perpustakaannya aja ga nyaman, bagaimana mahasiswa bisa krasan atau mau ke perpus klo toiletnya suasananya mengerikan.
Bukan berarti saya tidak bangga dengan almamater saya, tapi hal ini memang benar-benar terjadi. Harapan saya adalah mari berbenah dari hal-hal yang kecil jangan pernah mempunyai visi dan misi yang terlalu jauh dan besar kalau hal-hal yang kecil aja belum menjadi baik. Pak Rektor monggo bludusan ten perpustakaan pusat, nopo panjenengan mboten isin menawi kondisi perpus dan toilet nipun kadus makaten. Salam maju pak...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar