Senin, 21 Oktober 2013

Menyakini Hati

Hujan di saat kemarau, melintasi siklus alam yang tak wajar, berlabuh burung tanpa kicauan di pucuk pohon jati yang memandang kebingungan dengan alam. Burung yang berbinar-binar namun sepi tanpa teman. Hari demi hari, siang dan malam, panas dan hujan burung itu terbang ke sana ke sini untuk sebuah tujuan kebahagian. Berkicau sehari-hari dan sendiri tanpa banyak dimengerti burung lain karena tidak ada burung yang seordo. Lelah mungkin bagi sang burung yang hingga saat ini masih mencari teman seordonya. Mencari teman yang paham dan mengetahui bahasanya, mencari teman yang bisa memaknai arti disetiap kicauan-kicuanya. Kicauannya Selama ini, hanya bentuk ekspresi tanpa bisa dipahami oleh burung lainnya.

Berbagai cara burung itu mencari temannya, dia terbang dari timur hingga ke ujung barat karena memang hanya itu jalur yang sudah digariskan oleh kedua induknya. Meskipun burung itu mampu terbang bebas ke segala arah namum burung itu tetap berkomitmen untuk mengikuti saran induknya. Terbanglah burung itu hanya ke timur dan barat dan terkadang sedikit menengok ke selatan dan ke utara namun tetap dalam jalurnya. Meskipun di kedua sisi itu terkadang terlihat burung yang seordo namun sang burung hanya bisa memandang tanpa menghampirinya, cuma sedikit sapaan kicuan dari jauh untuk sebuah kebahagian semu dan sesaat.

Dari hutan ke hutan dari sarang ke sarang sang burung sampai saat ini masih mencari teman. Berbagai hutan dia singgahi untuk sekadar melihat burung lain namun jarang sekali bertemu dengan burung lain yang mampu memahami kicauan burung itu. Kejenuhan pun kadang dialami sang burung namun itu tidak berarti memutus asa sang burung untuk mendapatkan teman. pucuk-pucuk cemara yang tajam terkadang dihinggapinya, bahkan pohon general sherman atau pohon tertinggi di dunia pun pernah dihinggapi hanya untuk memperoleh pandangan luas untuk tujuan terbang selanjutnya.

Lelah pun tiada terasa lagi, burung itu terbang tinggi dengan ritme yang luar biasa cepat berpindah dari satu tempat ke tempatnya lainnya hingga pada suatu saat sang burung akhirnya menemukan seekor burung yang sangat cantik dan menawan. Burung itu kebetulan dari kelas ordo yang sama yang lebih cantik dari burung cenderawasih menurut versi dia. Burung menawan yang sering disebut perencak oleh orang jawa itu sangat menawan, kicaunya yang nyaring, geraknya yang lincah, dan tubuhnya yang kecil membuat burung itu terlihat jatuh hati padanya. Sapaan dengan sebuah kicauan burung perencak jantanpun langsung dikeluarkan dari mulut sang burung. *prencek *prencek seperti itu bunyinya. Bunyi suara burung yang sama dengan nama burung itu sering disebut dengan onomatope dalam ilmu bahasa. Saling sahutpun terjadi, kicauan saling merajuk di antara keduanya pun semakin sering bahkan dengan intensitas yang tinggi.

Setalah kedua burung itu saling sahut, sang burung jantan yang sedang mencari teman seordonya itupun langsung menghampiri sang burung perencak betina. Kicauan demi kicauan terus mereka lakukan layaknya seperti seorang pemuda dan pemudi yang sedang berkomunikasi dengan bahasa cintanya. Lama makin lama sang burung jantan merasa sudah memiliki teman, teman yang mampu mengerti bahasa kicauannya, teman yang mampu memaknai semua isi hatinya yang diwujudkan dalam setiap kicauannya.

Keakraban keduanya pun mulai tinggi, namun dalam perjalanannya sang burung itu pun menjadi semakin bingung dengan sikap sang burung betina yang kadang berkicau dengan dengan burung dari ordo lain, sang burung jantan kadang merasa bingung dan mempertanyakan sebenarnya dari ordo apa burung ini? sang burung jantanpun berserah diri dan dengan penuh keyakinan bahwa burung itu adalah burung dengan jenis ordo yang sama dan berharap suatu saat burung itu bisa jadi pasangan hidupnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar